“Kami Dijebak”: Suara Marganas Nainggolan dari Forum yang Berubah Ricuh
Batam-(rempangpost.com)– Sabtu sore di Swiss-Belhotel Harbour Bay, Batam, seharusnya menjadi ruang dialog antar jurnalis. Tapi kenyataan berkata lain. Ruangan yang awalnya dipenuhi harapan klarifikasi, justru berujung pada teriakan, keributan, dan dugaan kekerasan fisik.
Marganas Nainggolan, seorang wartawan senior yang sudah puluhan tahun menulis untuk negeri, tak menyangka dirinya akan menyaksikan kekacauan itu dari jarak dekat. Ia bahkan merasa dijebak.
“Awalnya saya diajak untuk membantu. Mereka mengaku terpojok oleh pemberitaan, ingin diskusi baik-baik dengan Ketua PWI Batam. Saya percaya,” ujar Marganas dengan nada kecewa dalam konferensi pers di Kantor PWI Batam malam harinya.
Ia datang dengan niat baik, membawa semangat kolegialitas yang selama ini menjadi napas dalam dunia pers. Tapi sejak langkah pertamanya di ballroom hotel, Marganas mengaku merasa ada yang ganjil. Wajah-wajah tegang, suara-suara mendesak, dan atmosfer yang dingin.
Ketika Khafi Ashary, Ketua PWI Batam, mulai memaparkan pentingnya sertifikasi wartawan sesuai regulasi Dewan Pers, suasana yang sebelumnya suram berubah menjadi gelombang emosi. Desakan datang bertubi-tubi. Forum diskusi berubah menjadi interogasi terbuka.
“Saya menyaksikan sendiri bagaimana Khafi dipojokkan. Ketika situasi tak terkendali, dan ia mencoba keluar ruangan, justru terjadi dugaan pengeroyokan. Saya tidak bisa diam melihat itu,” kata Marganas, matanya tampak merah menahan emosi.
Bukan hanya Khafi yang menjadi korban. Faisal, anggota PWI Batam lainnya yang mencoba melindungi rekannya, justru terjatuh dan mengalami luka pada kaki. Ia kini tengah menjalani visum sebagai bagian dari laporan insiden tersebut.
Marganas menegaskan, dirinya tak pernah menuduh siapa pun sebagai preman. Tapi tindakan-tindakan seperti yang terjadi di forum itu, tak bisa dibenarkan.
“Kalau mereka wartawan sejati, mari berdiskusi dengan kepala dingin. Tapi kalau datang hanya untuk meneriaki, mendorong, bahkan memukul, itu bukan wartawan. Itu premanisme berkedok profesi,” tegasnya.
Insiden ini menjadi pukulan telak bagi dunia jurnalistik, yang selama ini berjuang menjaga integritas di tengah maraknya disinformasi dan intimidasi. Ketua PWI Kepri, Saibansah Dardani, turut angkat suara. Ia menyayangkan kejadian ini, dan menyerukan perlunya membedakan antara jurnalis profesional dan oknum penyalahguna profesi.
“Profesi kita ini mulia. Tapi ketika digunakan untuk memeras, menekan guru atau sekolah di masa PPDB, kita tak boleh diam,” ujar Saiban, mengingatkan kembali pengaduan kepala sekolah yang masuk ke PWI beberapa waktu lalu.
Malam itu, Kantor PWI Batam tidak hanya menjadi tempat konferensi pers. Ia berubah menjadi ruang refleksi – bahwa di tengah derasnya arus media, integritas dan etika harus tetap menjadi jangkar utama.(Frd)